Ahmad Nadhif

"All truth passes through three stages. First, it is ridiculed, second it is violently opposed, and third, it is accepted as self-evident." (Arthur Schopenhauer, Philosopher, 1788-1860)

Wednesday, September 27, 2006

CONDY TIDAK SEDANG MEMUJI


Kemarin lusa, wakil Presiden Indonesia Yusuf Kalla bertemu dengan menteri luar negeri AS Codoleeza Rice. Dalam pertemuan itu, Condy (sapaan akrab menteri yang tampaknya IQ-nya jauh lebih tinggi daripada IQ presidennya ini) “memuji” bangsa Indonesia sebagai bangsa yang, bersahabat, moderat, dan toleran. Menurutku sih, itu bukan pujian, melainkan perintah.

Dalam kehidupan sehari-hari, betapa sering kita memerintah seseorang dengan menggunakan kalimat yang bukan kalimat perintah. Misalnya, ketika telepon berdering dan kemudian suara di seberang sana bilang, “bisa bicara dengan dewo?” Kalimat itu sama sekali bukan sekedar pertanyaan yang akan selesai dengan jawaban “iya, bisa”. Kalimat itu adalah cara lain untuk mengatakan, “panggilin dewo dong”. Contoh lain, jika di sebuah larut malam ibu kita bilang, “ngger, jendelanya belum ditutup tuh”, tentu itu juga bukan sekedar pemberitahuan tentang kondisi jendela, melainkan perintah untuk menutupnya. Di sinilah, konteks sangat dibutuhkan untuk bisa memahami isi pembicaraan yang sebenarnya.

Nah, jika kita perhatikan konteks pembicaraan Condy dengan Kalla, akan jelaslah bahwa yang dimaksudkan Condy dengan pernyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersahabat, moderat, dan toleran itu bukanlah sekedar pujian yang akan selesai hanya dengan ucapan “thank you”-nya Kalla.

Seperti yang kita tahu, dari dulu, negara gembrot Amerika Serikat, juga sekutu-sekutunya, telah melakukan pemetaan terhadap kaum muslimin akan sikap mereka terhadap Barat. Dalam hal ini, setidaknya mereka mendapati ada dua jenis kaum muslimin: muslim radikal dan muslim moderat. Muslim radikal mereka sifati sebagai muslim yang tidak bersahabat terhadap Barat dan tidak mau bertoleransi (baca: berkompromi) dengan nilai-nilai Barat. Ciri mereka jelas: ingin menegakkan syariah Islam dan menggusur ide-ide dan sistem Barat. Sementara muslim moderat dalam pandangan mereka adalah muslim yang bersikap bersahabat terhadap Barat, mau menerima ide-ide Barat, dan bahkan memperjuangkannya. Ciri mereka juga jelas: emoh syariat Islam dan gandrung terhadap nilai-nilai Barat. Tentu saja yang diinginkan AS adalah muslim yang moderat ini. Bahkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa AS membiayai golongan ini untuk “memerangi” muslim radikal.

Pertanyaannya, termasuk golongan yang manakah bangsa Indonesia? Kalau sikap Pemerintah dijadikan sebagai ukuran penilaiannya, tentu bangsa Indonesia dengan mudah terkategori sebagai bangsa yang moderat terhadap Barat. Namun meskipun begitu, akhir-akhir ini kita bisa saksikan ada beberapa sikap Pemerintah yang menabrak kepentingan Barat. Sebagi contoh, beberapa minggu yang lalu, di Havana, bersama dengan sekian negara-negara lain, Pemerintah Indonesia menyatakan dukungannya terhadap program nuklir Iran. Padahal, Amerika mati-matian menentang program tersebut. Apakah dengan fakta ini, kita percaya bahwa Condy tulus ketika mengatakan bahwa Indonesia adalah sahabat yang menyenangkan? Ini belum bicara tentang maraknya perda-perda syariah di daerah. Ini juga belum bicara tentang dibebaskannya Ust Abu Bakar Ba’asyir, tokoh radikal yang dicap Barat sebagai teroris Asia Tenggara, dari tahanan. Ini juga belum bicara tentang tetap dilakukannya eksekusi terhadap Tibo cs, meski Pemerintah ditekan Paus Benedictus untuk membatalkannya. Ini juga belum bicara tentang sikap Pemerintah yang ngotot untuk mengirim pasukan TNI ke Libanon meski ditentang Israel dan juga pernyataan tegas Pemerintah bahwa TNI akan menolak jika diperintahkan untuk melucuti senjata Hizbullah.

Itu, sekali lagi, jika sikap Pemerintah dijadikan sebagai acuan penilaian atas sikap bangsa Indonesia secara keseluruhan terhadap Barat. Lha, bagaimanakah jika acuan itu adalah sikap masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Agak susah menilainya. Memang beberapa waktu yang lalu LSI menurunkan laporan hasil surveynya bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menolak penerapan syariat Islam. Tetapi, sejauh mana validitas hasil survey tersebut mengingat komandannya adalah orang JIL, kelompok moderat yang dibiayai AS?! Kalau pun toh hasil survey itu benar, ada hal yang tidak terjawab padahal penting. Yaitu, apakah ada kecenderungan penurunan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariat Islam dari tahun ke tahun, ataukah justru peningkatan? Kalau jawabannya adalah yang kedua, meskipun secara umum masyarakat Indonesia saat ini kebanyakan masih menolak syariah, itu adalah hal yang sangat menyesakkan dada bagi Barat.

Jika kita perhatikan kondisi di lapangan, ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa muslim Indonesia mulai sulit untuk dikatakan sebagi moderat. Tuntutan penerapan syariah saat ini tengah menggejala di mana-mana. Bukankah perda-perda syariah itu adalah perwujudan dari keinginan masyarakat, meski mungkin tidak semuanya? Bukankah hampir satu orang turun jalan, di Jakarta saja, menuntut segera disahkannya RUU APP? Bukankah ketika Rasulullah dikarikaturkan, demonstrasi besar-besaran pecah dimana-mana? Bukankah itu pula yang terjadi ketika Amerika menginvasi Afghanistan dan Irak, dan ketika Israel menyerang palestina dan Libanon?

Kebencian terhadap Amerika juga semakin kental. Bahkan di sebuah masjid milik warga NU tidak jauh dari kontrakan saya, setiap kali qunut subuh sekarang selalu membaca, “allahumma innaa na’uudzu bika min jahdil balaa’ wa dzarqi syaqaa’ wa suu’il qadha’ wa shamadatil a’daa’. A’daa’inaa amriika wa israail wa syurakaa’ihim. Allahumma innaa naj’aluka fii nukhuurihim wa na’uudzu bika min suruurihim…” Kalau warga NU saja ada yang bersikap seperti ini, bagaimana dengan organisasi-organisasi seperti HT, FPI, PKS, dan lain sebainya yang jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit?

Karena itu, pernyataan Condy di atas hanya bisa kita artikan: “Wahai Kalla dan para pejabat Pemerintah Indonesia yang lain, jaga bangsamu agar tetap moderat, tetap bersahabat dengan Barat, tetep mau menerima nilai-nilai Barat, dan jangan sampai kaum radikal mempengaruhi bangsamu!” Bagaimana seharusnya sikap Pemerintah Indonesia dalam merespon perintah Condy, yang mewakili negara gembrot AS ini? Ya tergantung. Tergantung apakah Pemerintah memandang bangsa Indonesia ini sebagai bangsa jongos atau tidak! Wallahu a’lam.

Tuesday, September 26, 2006

Gordon Brown oh Gordon Brown


Kemarin, seorang anak manusia bernama Gordon Brown, the Chancellor of the Exchequer, membuat pernyataan konyol di program BBC Today. dia bilang bahwa ancaman terorisme datang dari mereka yang ingin "building a chaliphate" di dunia Islam. dia menolak pendapat yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri barat, termasuk invasinya ke irak, sebagai bahan bakar tumbuhnya "terorisme".

Entah sampai kapan, orang-orang seperti Gordon ini akan terus menutup mata bahwa kebijakan ngawur bangsanya telah membuat dunia kacau balau seperti saat ini. Entah sampai kapan pula, Barat akan terus menerus menakut-nakuti orang dengan kata "Khilafah". Untuk yang terakhir ini, antara Bush, Blair, Howard, dan Si Gordon ini blas nggak ada bedanya.

Tapi setidaknya, ini semua telah menunjukkan apa yang sebenarnya diinginkan Barat dengan perang melawan teror-nya. ya, mereka ingin membendung laju kembalinya khilafah! sebuah usaha yang akan berakhir sia-sia. kasihan...

cerita pagi

Hening. Suatu pagi di sebuah beranda, dua buah kursi-plastik putih dipisahkan sebuah meja kayu tanpa taplak yang sedikit kusam. Di atas meja itu terdapat sebuah piring kaca transparan berisi 4 potong onde-onde. Piring itu diapit 2 gelas besar berlogo sebuah merek sabun colek yang berisi teh panas yang asapnya masih mengepul. Semua masih utuh. Belum ada yang tergoda untuk mencicipi. Dua anak manusia berusia 25-an tahun yang duduk di masing-masing kursi sudah sekitar 5 menit tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Mata sang gadis terlihat sembab; sementara sang pemuda tampak beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu baru saja bercerita tentang masalah yang tengah merundungnya: tesisnya-nya belum juga kelar karena dia tidak bisa memenuhi tuntutan dari sang dosen pembimbing untuk membuat tesisnya begini dan begitu. Dia telah berdoa agar Tuhan menolongnya. Tapi ia merasa Tuhan tidak mau mendengar permintaannya. Maka dia pun “balas dendam” dengan caranya sendiri: berhenti sholat!

Setelah sekian lama diam, sang pemuda pun menceritakan sebuah kisah. Kisah tentang kupu-kupu. Begini ia memulai ceritanya,

“Suatu hari ada seorang pria menemukan seekor calon kupu-kupu yang terkurung dalam sebuah kepompong. Di dinding kepompong itu terdapat sebuah lubang kecil. Dalam beberapa jam, pria itu duduk mengamati sang calon kupu-kupu yang berjuang keras untuk bisa keluar. Sayang, usaha binatang kecil itu tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memperlebar lubang kepompong itu.

Kupu-kupu tersebut pun keluar dengan mudahnya. Namun, tubuhnya gembung. Sayap-sayapnya pun mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, seiring berjalannya waktu, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga kuat untuk mengangkat tubuhnya. Namun semuanya tak pernah terjadi. Kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak dengan tubuh gembung dan sayap-sayap yang mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Selamanya.

Yang tidak dimengerti oleh pria tersebut adalah bahwa adanya dinding kepompong yang sulit ditembus dan perjuangan keras yang harus dilakukan kupu-kupu untuk keluar melewati lubang kecil itu adalah cara Tuhan untuk memaksa cairan tubuh kupu-kupu itu mengalir ke dalam sayap-sayapnya sedemikian rupa sehingga dia akan siap terbang begitu dia terbebas dari penjara kepompong tersebut,” begitu sang pemuda menutup kisahnya.

Setelah menceritakan kisah tentang kupu-kupu yang didapatkannya dari internet tersebut, sang pemuda kemudian menceritakan kisah yang lain: sebuah sketsa yang pernah dilakoninya sendiri dalam lembar panjang hidupnya.

Sekian tahun yang lalu ketika sang pemuda itu masih duduk di bangku SMP, dia pernah jatuh cinta terhadap seorang gadis teman kelasnya sendiri. Di matanya, gadis itu adalah wanita yang luar biasa. Bayangin aja, dia itu nggak hanya pinter, enak diajak ngobrol, punya selera humor yang tinggi, gampang dimintai contekan, tapi juga cantik. Maka usaha pendekatan pun dilakukan sang pemuda. Bahkan hampir setiap habis sholat, dia berdoa kepada Tuhan agar menjadikan gadis itu sebagai isterinya kelak. “Ya Allah, andaipun dia bukan jodohku, maka jodohkanlah. Engkau kan Maha Kuasa.” Begitu kira-kira penutup doanya.

Tapi Tuhan seakan tidak mendengar doanya. Setiap kali sang pemuda melakukan pendekatan, selalu saja sang gadis tampak menjauh. Malah yang lebih menyakitkan, gadis itu justru berpacaran dengan pemuda lain. Pedih! Musnah sudah harapan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan doaku? Padahal aku sudah rajin beribadah kepadaNya? Sang pemuda bertanya-tanya. Tapi tak kunjung ada jawaban.

Baru setelah sekitar 12 tahun kemudian, pemuda itu mengerti. Sang gadis pujaan hati itu ternyata bukan calon isteri yang baik bagi dirinya. Bagaimana tidak, jangankan memakai jilbab, gadis itu kini menjadi penyanyi dari kafe yang satu ke kafe yang lain di samping bekerja sambilan sebagai gadis panggilan, yang bisa “dipakai” siapa saja yang punya uang. Menjijikkan!

Demikian kisah sang pemuda. Dia pun kemudian berkata kepada gadis nekat yang memutuskan berhenti sholat itu,
“Begitulah, Allah mengetahui apa-apa yang tidak kita ketahui. Dia memberi kita kesulitan, bukan tanpa tujuan. Dan tujuan itu adalah demi kebaikan kita sendiri, sebagaimana yang terjadi pada kupu-kupu. Dia tidak mengabulkan doa kita, juga bukan tanpa alasan. Dan alasan itupun demi kebaikan kita sendiri, sebagaimana yang terjadi pada diri saya. Tapi dasar tak tahu diri! Kadang kita merasa lebih mengetahui apa yang terbaik buat kita daripada Tuhan, sehingga dalam doa pun kita mendikteNya. Dan ketika doa kita tidak dikabulkanNya, maka kita pun balas dendam kepadaNya. Betapa kurang ajarnya kita! Hanya karena kasih sayangNya, saat ini kita masih diberiNya kesempatan untuk memohon ampun.”

Setelah ngomong begitu, sang pemuda pun beranjak pergi meninggalkan sang gadis yang kini beku tertegun. Ia pulang begitu saja. Tapi sebelum itu, ditenggaknya dulu teh yang sudah mulai dingin di atas meja, sampai habis tak tersisa. Dan keempat onde-onde yang sedari tadi bengong itu pun dimasukkannya ke dalam plastik kresek yang ternyata sudah dipersiapkannya dari rumah. “Lumayan,” gumamnya sambil ngeloyor pergi.

Monday, September 25, 2006

Siapakah engkau, Manusia Misterius?


Kau betul-betul membuatku penasaran. malam itu, 22 september 2006 pukul 20:13, kau kirimi aku sepotong pesan pendek. "Menyambung kasih, merajut cinta. Beralas ikhlas, beratap doa. Semasa hidup bersimbah khilaf&dosa. Berharap dibasuh maaf. Marhaban Ya Ramadhan", begitu tulismu. terasa asing. seasing no HPmu:081396316032.

Maafkan, kerjaan sedang numpuk malam itu. baru setelah berselang beberapa jam, aku baru bisa membalas, mengucapkan terimakasih dan bertanya siapa dirimu. tapi rupanya kau tidak sabaran. HPmu sudah kau matikan. aku berharap esok paginya HPmu bangkit dari kubur :), tapi harapan itu hanyalah harapan kosong. no HP-mu mati selamanya, setidaknya sampai saat ini. sudah 4 hari! inilah yang membuatku penasaran. siapa sih engkau, manusia misterius?

Saturday, September 23, 2006

hogwart kaliwates

Kepada mereka yang kangen eksotik asrama
Kepada mereka yang kangen makan bersama penuh sahaja
Kepada mereka yang kangen romantisme persahabatan anak-anak badung
Dan...
Kepada mereka yang merindukan kepolosan cinta

Tuesday, September 19, 2006

hidup cilok

Sepanjang yang bisa kuingat, pertama kali aku makan cilok ketika aku KKN di dusun Manting, Tawangsari, Pujon, Kabupaten malang akhir tahun 2003. Waktu itu malam hari, sehabis main dari rumah seorang warga desa. Lisief yang membelikan. Hanya dengan seribu rupiah, kami dapat seabrek cilok. Sampe nggak kuat ngabisin (soalnya masih kenyang. Setiap habis main dari rumah warga, pasti kenyang, he he). Untungnya ada Toni. Anak ini memang sepertinya telah menjadi musuh bebuyutan setiap makanan, he he lagi.

Beberapa bulan yang lalu, seorang karib-naik-gunung bernama Arief menceritakan sebuah kisah unik tentang cilok. Katanya dia baru saja memberanikan diri bertanya kepada seorang akhwat, kalo dia nikah pengen mahar apa. Akhwat itu menjawab, “Cilok dua bungkus. Habis akad nikah, dimakan berdua.” Hmm… Sederhana. Unik. Romantis. Tapi nggak awet.

Dua minggu lalu, di sebuah sore yang hangat, aku dan barir (adhekku yang masih duduk di kelas 2 SD) diajak ibuk berjalan kaki agak jauh. Dari Sengkaling ke Perumahan Tegalgondo. Kira-kira 2 kilo-an. Kami berjalan menyusuri jalanan setapak, di pinggir kali yang mengalir deras. Tau nggak, di tengah perjalanan kami mendapati orang jualan cilok! Tanpa kuminta, ibuk membeli 2 bungkus. Satu untukku, satu untuk barir. kami berhenti di sebuah pondok kecil untuk menghabiskannya.

sore tadi, sepulang dari lihat pameran buku di perpustakaan umum bareng mas usman, aku beli cilok dua bungkus. pak usman memasang muka mentertawakan. tapi ia mau makan juga. di atas sepeda motor. habis duluan lagi!

malam ini, ketika ke warnet utk memposting tulisan ini, kami (aku dan mas usman) mendapati ada orang jualan "bakso kering" di depan warnet. kami putuskan utk beli. nggak dinyana, ternyata "bakso kering" itu ternyata CILOK!

maka: hidup cilok! makanan asli buatan orang Indonesia. memakannya harus dengan bangga. aku nggak tau rasanya hamburger, tapi aku yakin tidak se-enak cilok. wallahua'lam.

diskusi dengan penyair

Semalam aku mengikuti sebuah diskusi. PRAM: sastra dan tafsir agama, begitu temanya. Pembicaranya seorang penyair asal Surabaya bernama Tengsu siapa gitu, aku lupa. Diskusi digelar di sebuah toko buku kecil bernama SYARIKAT. Toko itu berada di jalan kertoraharjo 77, dekat Kampus Brawijaya. Tidak ada meja atau kursi. Hanya karpet. Ya, kami duduk lesehan membentuk dua buah lingkaran. Satu di dalam toko, yang dinding-dindingnya dipenuhi pajangan buku-buku perlawanan; satunya lagi di halaman, beratap langit yang bertabur bintang. Aku suka suasananya: sederhana, tapi ada ruh juang dan sedikit-banyak intelektualitas. Hmm.., romantis.

Aku tidak banyak tahu tentang Pram. Aku tidak pernah sedikitpun membaca tulisan-tulisannya. Aku hanya tahu Pram dari tulisan orang-orang yang mengaguminya. Jadi, sebenarnya aku adalah orang yang tidak begitu layak mengikuti diskusi itu, kecuali hanya sebagai pendengar saja.

Dan memang mulanya aku hanya ingin mendengarkan saja. Namun, ketika pembicara mengatakan bahwa Pram mungkin percaya akan adanya kekuatan besar di luar dirinya yang bernama Tuhan, dan karenanya ia mungkin masih “beriman” meski ia tidak tampak melakukan ibadah, aku terpaksa mengingatkan bahwa iblis pun benar-benar (bukan hanya “mungkin” sebagaimana Pram) percaya akan eksistensi Tuhan tetapi ia dicap kafir oleh Tuhan (QS. 2:34). Ya, intinya, iman itu tidak hanya cukup percaya di hati, tetapi juga mesti terejawantah dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Alhamdulillah, Pak Tengsu akhirnya mengiyakan pendapatku itu.

Aku juga terpaksa bicara ketika ada seorang peserta diskusi bernama Jayadi yang menanyakan manakah yang lebih keras, benturan sastra dengan agama ataukah benturan sastra dengan ideologi. Aku terheran-heran dengan pertanyaan itu. Sepertinya dalam benak Jayadi, sastra itu punya “ide” sendiri yang berpotensi berbenturan dengan agama dan ideologi-ideologi yang ada. Menurutku, sastra itu netral. Ia berhak dimiliki dan digunakan sebagai media oleh agama dan ideologi apapun. Lihatlah karya-karya Taufik Ismail. Cermatilah puisi-puisi Emily Dickinson. Bahwasannya Pram pernah diuber-uber rezim Soeharto, itu bukanlah perbenturan antara sastra dengan ideologi tertentu melainkan perbenturan antara ideologi yang ada dalam karya sastra Pram dengan ideologi yang dianut Soeharto. Bahwasannya Salman Rushdie dikutuk kaum muslim sedunia karena Satanic Verses-nya, itu bukanlah manifestasi dari perbenturan antara sastra dengan Islam melainkan perbenturan ideologi yang ada dalam Satanic Verses dengan ideologi Islam. Jadi, sastra adalah netral. Ia baru bisa dikatakan berideologi ketika ia berafiliasi dengan ideologi lain di luar dirinya. Begitu menurutku.

Tapi Pak Tengsu tidak sepenuhnya setuju dengan pendapatku itu. Ia bilang sastra itu tidak berangkat dari kekosongan. Sejak pertama kali ditulis, karya sastra telah mengandung sebuah nilai, hasil dari perenungan penulisnya. Dalam hati aku ingin mengatakan bahwa nilai yang dimaksud itulah yang lahir dari sebuah frame berfikir tertentu yang ada dalam benak penulis. Frame berfikir tertentu itu bukanlah sastra itu sendiri, tetapi sesuatu yang lain di luar sastra. Jadi aku tetap berkesimpulan, bahwa sastra itu netral. Isinya-lah yang membuatnya tidak netral. Wallahua’lam.

Tuesday, September 05, 2006

senja di padang gembala

Segala puji bagi Allah yang tidak pernah menganggap salah perbuatan apapun yang dilakukan hambaNya, selama itu terjadi di alam mimpi. Pencurian, perampokan, pembunuhan, perzinahan, bahkan korupsi pun tidak dianggapnya sebagai dosa, asal dilakukan di alam yang hanya bisa kita datangi ketika kita tidur itu. Nah, untuk nanti malam, aku sudah merencanakan sebuah mimpi. Mimpi yang belum pernah kuimpikan sebelumnya: ngobrol berdua dengan Dian Sastro sambil menggembala sapi. Skenario lengkapnya ada di sekian paragraf di bawah ini. Jangan protes jika ada hal-hal yang menurut kalian keluar dari batas-batas logika. Bukankah dunia mimpi tidak pernah mengenal matematika?

Sebuah senja yang baru menjelang. Sinar mentari yang mulai melemah masih dapat menerobos celah-celah gumpalan awan, membentuk garis-garis semlorot ke bawah, dan sebagiannya jatuh di atas hamparan luas sebuah padang rumput setinggi mata kaki di sebuah tanah perbukitan. Sesekali angin berhembus sepoi, menggerakkan ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar padang, dan menebarkan aroma khas kayu dan dedaunan. Saat angin itu menerpa wajah, rasanya seperti sebuah belaian: lembut dan melenakan.

Di tengah padang itu ada puluhan sapi yang dari tadi asyik merengguti rerumputan. Empat di antara sapi-sapi itu adalah milikku, lima lainnya kepunyaan Dian Sastro, dan sisanya milik orang lain. Kami, para penggembala sapi, duduk-duduk santai di bawah pepohonan. Ada yang tidur pules malah. Aku sendiri bersandar di bawah pohon jati berdiameter kira-kira 25 cm sembari membaca The Great Gatsby, novel yang ditulis F. Scott Fitzgerald awal tahun 20-an. Sementara Dian Sastro berada tidak jauh dariku. Hanya kira-kira 3 meteran di bawah sebuah pohon mahoni berukuran sedang. Dia hampir menamatkan The Sun Also Rises-nya Earnest Hemingway. Yah, kami berdua adalah penggembala yang sama-sama menyukai karya sastra. Bedanya, dia sangat kuat membaca sementara aku cepet capek dalam menjalani ritual yang satu ini. Seperti saat ini, baru beberapa menit saja aku sudah ngos-ngosan (lho, membaca novel apa balap karung sih?).

Capek membaca, timbullah keinginanku untuk mengajak Dian bicara. Kupanggil namanya. Dia menoleh kalem sambil memperbaiki letak kacamatanya.

“Bisa ngobrol sebentar, Mbak?” tanyaku dengan nada serius.

“Bisa aja. Tentang apa, Dhe’?” jawabnya dengan penuh kesabaran, seperti biasanya.

“Tentang sapi. Mm...sapi apa hayo yang selalu istiqomah berjalan ke arah utara? Dia tidak pernah berjalan ke arah timur, barat, tenggara, selatan, ataupun arah yang lain?”. Mendengar itu, kening Dian Sastro tampak berkerut-kerut. Setelah beberapa lama ia tampak berpikir keras tapi tidak menemukan jawaban, aku pun merasa kasihan dan berkata,

“Jangan dipikirin Mbak. Itu hanya intro aja kok. Hal yang ingin saya diskusikan sebenarnya lebih dalem. Begini, Mbak. Selain menggembala sapi dan membaca novel, Mbak Sastro kan juga main film. Sebenarnya apa yang Mbak Sastro cari?“ tanyaku sambil mengingat-ingat gaya Najwa Shihab ketika mewawancarai orang-orang penting. Kali ini bener-bener serius. The Great Gatsby kututup sepenuhnya setelah menaruh lidi pembatas di antara halaman 96 dan 97. Dian Sastro pun meletakkan The Sun Also Rises di rerumputan, melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di atas novel itu, kemudian memandangku tepat di bola mata. Setelah beberapa jenak, lirih dia menjawab,

“Keindahan.”

Aku tercenung dengan jawaban singkat itu. Yah, bagi banyak orang, keindahan memang ada di mana-mana. Tidak hanya ada di pucuk-pucuk gunung, sumber-sumber mata air, dan rerimbunan pepohonan, tapi juga ada di padang gembalaan, di belantara kata-kata dalam sebuah novel, di panggung-panggung drama, di lokasi syuting, atau bahkan dalam sesungging senyum manis seorang gadis desa. Aha! Jangan-jangan itu alasan Dian Sastro menentang habis RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Bukankah dalam pornografi dan pornoaksi terdapat juga “keindahan”? Aku mulai manggut-manggut. Dia masih memandangiku, ingin memastikan kalau aku sudah benar-benar paham.

“Kapan sesuatu bisa dikatakan indah?” tanyaku dengan ekspresi polos. Dia tersenyum, seolah sudah menduga sebelumnya.

“Dalam Kamus Oxford dikatakan bahwa beauty is a combination of qualities that give pleasures to the senses (esp. to the eye and ear) or to the mind (maksudnya: sesuatu bisa dikatakan indah jika ia bisa mendatangkan kenikmatan pada indera, khususnya mata dan telinga, atau pada pikiran),” paparnya sedikit berteori.

“Di sinilah posisi karya seni, dhe’,” lanjutnya, “unsur pertama yang harus dipenuhi adalah unsur keindahan. Ada pelukis yang menggambar wanita telanjang, ada penari yang ngebor-ngayang-mata-mata, ada penyanyi dan pemain sinetron yang berpakaian serba minim, ada penulis yang bercerita panjang lebar tentang alat kelamin, itu semua, bagi mereka, mungkin adalah untuk memenuhi unsur keindahan itu.”

“Tapi, Dhe!”, dia buru-buru menambahkan, “beda orang bisa jadi berbeda pandangan mengenai keindahan. Bagi Mbak, maen film adalah sesuatu yang indah, karena di situ Mbak bisa mempelajari berbagai karakter manusia. Bagi sampeyan, bisa jadi itu merupakan hal yang sama sekali membosankan. Begitu juga, naik gunung bagi sampeyan adalah hal yang indah, karena sampeyan bisa melihat hijaunya hutan belantara dari atas ketinggian; tapi bagi Mbak, itu sesuatu yang membahayakan.”

“Jadi, indah atau nggak indah itu sifatnya sangat individual ya, Mbak?” tanyaku memastikan.
“Pinter!” jawabnya dibarengi sebuah acungan jempol dan senyum kepuasan. Suasana terasa hening, meski agak jauh di kanan-kiri beberapa pengembala terdengar main tebak-tebakan. Aku masih berusaha mencerna kata-kata Dian Sastro.

“Mbak Sastro pernah mendengar tentang keindahan Surga?” tanyaku kemudian.

“Iya,” jawabnya singkat dengan pandangan mata yang sedikit bertanya-tanya.

“Mbak percaya bahwa itu merupakan tempat yang paling indah yang diciptakan Allah untuk manusia?” tanyaku lagi. Tanpa bibirnya mengeluarkan sepatah pun kata, Dian mengangguk mantap sembari sejenak memejamkan dua matanya. Sangat meyakinkan, sekaligus menentramkan hati.

“Apakah keindahan yang Mbak cari itu juga temasuk keindahan surga?” lanjutku.

“Ya iya-lah. Emang kenapa?”

“Kalo gitu sama, Mbak. Saya juga mencarinya, he he. Marzuki juga,” lanjutku sambil melemparkan pandangan ke arah Marzuki, kawan sesama penggembala. Dia sedang melepaskan tali kekang sapinya dari sebuah pathok (batang kayu yang ditancapkan kuat ke dalam tanah) di tengah padang. Rupanya jumlah rumput di sekitarnya sudah menyusut. Dia hendak memindahkan satu-satunya sapi miliknya itu ke bagian padang yang rumputnya masih lebat.

“Saking pengennya dia mendapatkan keindahan Surga, dan saking percayanya bahwa Surga adalah tempat terindah yang gak ada tandingannya, sampe-sampe dia menganggap bahwa apa saja yang bisa mengantarkannya ke Surga adalah keindahan. Nggak hanya itu Mbak, dia juga bilang bahwa seindah apapun suatu hal, jika itu malah menjauhkan manusia dari Surga, pada hakikatnya ia sama sekali tidak indah. Sama sekali bukan keindahan,” ceritaku. Sunyi. Dian Sastro tiba-tiba seperti membeku. Tapi aku cuek aja, malah melanjutkan cerita.

“Karena itulah, Mbak, menurut Marzuki, seindah apapun sebuah puncak gunung, jika itu malah membuat saya semakin jauh dari Surga, misalnya malah membuat saya meninggalkan sholat, maka ia hanyalah sebuah keindahan yang semu. Keindahan yang semu, karena keindahannya malah menjauhkan saya dari keindahan yang sebenarnya, yaitu Al Jannah, Surga.” Dian Sasto masih membeku. Aku pun melanjutkan cerita.

“Melukis gambar orang telanjang di atas kanvas, megal-megol di atas panggung yang ditonton banyak orang, merangkai kalimat-kalimat cabul dalam novel, berpakaian minim di depan umum, bagi sebagian orang mungkin merupakan keindahan. Tapi bagi Marzuki, itu adalah keindahan palsu. Kalaupun dikatakan seni, itu adalah seni yang palsu dan menipu.” Gadis itu tetap saja membeku. Aku pun melanjutkan lagi ceritaku.

“Seni itu bukan hanya berfungsi untuk menghibur orang, tetapi juga untuk mengajarkan sesuatu pada mereka, bahkan seni juga bisa digunakan untuk mengubah pikiran dan perilaku mereka. Lalu, di mana letak keindahan sebuah karya seni jika ia malah menyuguhkan hiburan yang tidak sehat, mengajarkan sesuatu yang buruk, dan mengubah seseorang dari baik menjadi buruk dan dari buruk menjadi jauh lebih buruk lagi? Itu yang dipertanyakan Marzuki, Mbak. Dia mendefinisikan kebaikan sebagai apa saja yang dipandang baik oleh hukum syara’ dan keburukan sebagai apa saja yang dipandang buruk oleh hukum syara’. Hukum syara’ itu adalah hukum islam, begitu katanya. Mbak Sastro punya komentar?” Pertanyaan terakhirku itu memaksanya untuk bicara.

“Menurut Mbak, dunia seni adalah dunia kekreativitasan. Kekreativitasan itu tidak akan jalan jika ada dalam batasan-batasan, karena karakter dasar dari sebuah kekreativitasan itu justru mestinya mendobrak apa saja yang membatasinya,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa makna di balik senyuman manis itu.

“Dengan kata lain, Mbak Sastro ingin mengatakan bahwa agama adalah penghambat kekreativitasan. Dan jika kita membatasi diri dengan aturan-aturan agama maka kita akan kesulitan untuk menjadi orang kreatif. Begitukah?” tanyaku memastikan. Dian Sastro mengangguk ragu. Maka aku pun melanjutkan dengan sebuah pertanyaan pamungkas.
“Bagi seorang pencari keindahan seperti Mbak Sastro, mana yang lebih penting: menjadi orang kreatif atau mendapatkan keindahan surga? Mbak Sastro tidak bisa memilih keduanya jika Mbak Sastro tetep kukuh berpendapat bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus menerjang batasan-batasan agama. Bukankah untuk mendapatkan keindahan surga, seseorang harus terikat dengan aturan-aturan agama dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk ketika membuat karya seni?”.

Dian Sastro terdiam. Dia menarik sebuah nafas panjang, kemudian melepaskannya pelan-pelan. Matanya menerawang jauh ke arah langit sebelah barat, yang dihiasi gumpalan awan-awan kuning keemasan. Sementara mentari sebentar lagi akan sampai di ujung cakrawala. Merah saga. Beberapa saat dia seakan tenggelam dalam kesendiriannya sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap tepat di bola mataku. Kali ini aku menunduk, menekuri daun-daun kering yang berserakan di atas tanah, menungggunya bicara, entah tentang apa.

“Dhe’, Almarhum Buya Hamka pernah bertanya: "Mengapa manusia bersikap bodoh? Tidakkah engkau tatap langit yang biru dengan awan yang berarak seputih kapas? Atau engkau turuni lembah sehingga akan kau dapatkan air yang bening. Atau engkau bangun di malam hari, kau saksikan bintang gemintang bertaburan di langit biru dan rembulan yang tidak pernah bosan orang menatapnya. Atau engkau dengarkan suara jangkrik dan katak saling bersahutan. Sekiranya seseorang amat gemar memandang keindahan, amat senang mendengar keindahan, niscaya hatinya akan terbebas dari perbuatan keji. Karena sesungguhnya keji itu buruk, sedangkan yang buruk itu tidak akan pernah bersatu dengan keindahan"”. Gadis itu berhenti sebentar, seakan memberiku kesempatan untuk menerjemahkan setiap rangkaian kata-kata Buya Hamka yang sudah lama dihafalnya di luar kepala tapi mungkin baru saja dipahaminya itu.
“Dhe’, pemikiran-pemikiran Marzuki tentang hakekat keindahan layak untuk dipertimbangkan. Kapan-kapan Mbak ingin diskusi langsung dengannya. Kalau perlu, Mbak akan ajak juga Jajang C Noer, Rieke Diah Pitaloka, Olga Lidya, dan artis-artis lain yang selama ini sepemikiran dengan Mbak. Kita buat seminar di sini, di padang ini. Seminar Gembala Sapi. Wah, pasti asyik banget! Cuman, ada hal lain yang ingin Mbak tanyakan pada Dhe’ Nadhif.”

“Tentang apa, Mbak?” tanyaku penasaran.

“Jadi, sapi apa sih yang selalu berjalan ke utara, tidak pernah ke arah yang lain?” Oalah..

“Sapi yang selalu berjalan ke arah utara dan tidak pernah ke arah yang lain adalah sapi yang berjalan dari arah selatan,” jawabku sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia manggut-manggut setelah beberapa saat mengerutkan kening.

“Sekarang, sapi apa yang suka makan lalapan lele?” balasnya memberi teka-teki.

“Ah, itu sih mudah. Pasti Sapi’i kan? Tetangganya Marzuki?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk kecewa.

“Hayo, sekarang lele apa yang bisa terbang?” giliranku memberi tebakan.

“Mana ada?!” protesnya.

“Ada. Lelelawar!” jawabku kenceng-kenceng. Merasa dicurangi, dia melepas sandal jepit sebelah kanannya dan melemparkannya keras-keras ke punggungku. Boukk! Auw!

“Itu kele, bukan lele!!” teriaknya gemes sambil memelototiku yang meringis kesakitan.

Warna emas di langit barat mulai memudar. Mentari semakin mendekati ujung cakrawala. Semakin merah saga. Saatnya mimpi diakhiri, sebelum Dian Sastro melepas sandalnya yang sebelah kiri.


Kuncup Indah, Juli 2006