Segala puji bagi Allah yang tidak pernah menganggap salah perbuatan apapun yang dilakukan hambaNya, selama itu terjadi di alam mimpi. Pencurian, perampokan, pembunuhan, perzinahan, bahkan korupsi pun tidak dianggapnya sebagai dosa, asal dilakukan di alam yang hanya bisa kita datangi ketika kita tidur itu. Nah, untuk nanti malam, aku sudah merencanakan sebuah mimpi. Mimpi yang belum pernah kuimpikan sebelumnya: ngobrol berdua dengan Dian Sastro sambil menggembala sapi. Skenario lengkapnya ada di sekian paragraf di bawah ini. Jangan protes jika ada hal-hal yang menurut kalian keluar dari batas-batas logika. Bukankah dunia mimpi tidak pernah mengenal matematika?
Sebuah senja yang baru menjelang. Sinar mentari yang mulai melemah masih dapat menerobos celah-celah gumpalan awan, membentuk garis-garis semlorot ke bawah, dan sebagiannya jatuh di atas hamparan luas sebuah padang rumput setinggi mata kaki di sebuah tanah perbukitan. Sesekali angin berhembus sepoi, menggerakkan ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar padang, dan menebarkan aroma khas kayu dan dedaunan. Saat angin itu menerpa wajah, rasanya seperti sebuah belaian: lembut dan melenakan.
Di tengah padang itu ada puluhan sapi yang dari tadi asyik merengguti rerumputan. Empat di antara sapi-sapi itu adalah milikku, lima lainnya kepunyaan Dian Sastro, dan sisanya milik orang lain. Kami, para penggembala sapi, duduk-duduk santai di bawah pepohonan. Ada yang tidur pules malah. Aku sendiri bersandar di bawah pohon jati berdiameter kira-kira 25 cm sembari membaca The Great Gatsby, novel yang ditulis F. Scott Fitzgerald awal tahun 20-an. Sementara Dian Sastro berada tidak jauh dariku. Hanya kira-kira 3 meteran di bawah sebuah pohon mahoni berukuran sedang. Dia hampir menamatkan The Sun Also Rises-nya Earnest Hemingway. Yah, kami berdua adalah penggembala yang sama-sama menyukai karya sastra. Bedanya, dia sangat kuat membaca sementara aku cepet capek dalam menjalani ritual yang satu ini. Seperti saat ini, baru beberapa menit saja aku sudah ngos-ngosan (lho, membaca novel apa balap karung sih?).
Capek membaca, timbullah keinginanku untuk mengajak Dian bicara. Kupanggil namanya. Dia menoleh kalem sambil memperbaiki letak kacamatanya.
“Bisa ngobrol sebentar, Mbak?” tanyaku dengan nada serius.
“Bisa aja. Tentang apa, Dhe’?” jawabnya dengan penuh kesabaran, seperti biasanya.
“Tentang sapi. Mm...sapi apa hayo yang selalu istiqomah berjalan ke arah utara? Dia tidak pernah berjalan ke arah timur, barat, tenggara, selatan, ataupun arah yang lain?”. Mendengar itu, kening Dian Sastro tampak berkerut-kerut. Setelah beberapa lama ia tampak berpikir keras tapi tidak menemukan jawaban, aku pun merasa kasihan dan berkata,
“Jangan dipikirin Mbak. Itu hanya intro aja kok. Hal yang ingin saya diskusikan sebenarnya lebih dalem. Begini, Mbak. Selain menggembala sapi dan membaca novel, Mbak Sastro kan juga main film. Sebenarnya apa yang Mbak Sastro cari?“ tanyaku sambil mengingat-ingat gaya Najwa Shihab ketika mewawancarai orang-orang penting. Kali ini bener-bener serius. The Great Gatsby kututup sepenuhnya setelah menaruh lidi pembatas di antara halaman 96 dan 97. Dian Sastro pun meletakkan The Sun Also Rises di rerumputan, melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di atas novel itu, kemudian memandangku tepat di bola mata. Setelah beberapa jenak, lirih dia menjawab,
“Keindahan.”
Aku tercenung dengan jawaban singkat itu. Yah, bagi banyak orang, keindahan memang ada di mana-mana. Tidak hanya ada di pucuk-pucuk gunung, sumber-sumber mata air, dan rerimbunan pepohonan, tapi juga ada di padang gembalaan, di belantara kata-kata dalam sebuah novel, di panggung-panggung drama, di lokasi syuting, atau bahkan dalam sesungging senyum manis seorang gadis desa. Aha! Jangan-jangan itu alasan Dian Sastro menentang habis RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Bukankah dalam pornografi dan pornoaksi terdapat juga “keindahan”? Aku mulai manggut-manggut. Dia masih memandangiku, ingin memastikan kalau aku sudah benar-benar paham.
“Kapan sesuatu bisa dikatakan indah?” tanyaku dengan ekspresi polos. Dia tersenyum, seolah sudah menduga sebelumnya.
“Dalam Kamus Oxford dikatakan bahwa beauty is a combination of qualities that give pleasures to the senses (esp. to the eye and ear) or to the mind (maksudnya: sesuatu bisa dikatakan indah jika ia bisa mendatangkan kenikmatan pada indera, khususnya mata dan telinga, atau pada pikiran),” paparnya sedikit berteori.
“Di sinilah posisi karya seni, dhe’,” lanjutnya, “unsur pertama yang harus dipenuhi adalah unsur keindahan. Ada pelukis yang menggambar wanita telanjang, ada penari yang ngebor-ngayang-mata-mata, ada penyanyi dan pemain sinetron yang berpakaian serba minim, ada penulis yang bercerita panjang lebar tentang alat kelamin, itu semua, bagi mereka, mungkin adalah untuk memenuhi unsur keindahan itu.”
“Tapi, Dhe!”, dia buru-buru menambahkan, “beda orang bisa jadi berbeda pandangan mengenai keindahan. Bagi Mbak, maen film adalah sesuatu yang indah, karena di situ Mbak bisa mempelajari berbagai karakter manusia. Bagi sampeyan, bisa jadi itu merupakan hal yang sama sekali membosankan. Begitu juga, naik gunung bagi sampeyan adalah hal yang indah, karena sampeyan bisa melihat hijaunya hutan belantara dari atas ketinggian; tapi bagi Mbak, itu sesuatu yang membahayakan.”
“Jadi, indah atau nggak indah itu sifatnya sangat individual ya, Mbak?” tanyaku memastikan.
“Pinter!” jawabnya dibarengi sebuah acungan jempol dan senyum kepuasan. Suasana terasa hening, meski agak jauh di kanan-kiri beberapa pengembala terdengar main tebak-tebakan. Aku masih berusaha mencerna kata-kata Dian Sastro.
“Mbak Sastro pernah mendengar tentang keindahan Surga?” tanyaku kemudian.
“Iya,” jawabnya singkat dengan pandangan mata yang sedikit bertanya-tanya.
“Mbak percaya bahwa itu merupakan tempat yang paling indah yang diciptakan Allah untuk manusia?” tanyaku lagi. Tanpa bibirnya mengeluarkan sepatah pun kata, Dian mengangguk mantap sembari sejenak memejamkan dua matanya. Sangat meyakinkan, sekaligus menentramkan hati.
“Apakah keindahan yang Mbak cari itu juga temasuk keindahan surga?” lanjutku.
“Ya iya-lah. Emang kenapa?”
“Kalo gitu sama, Mbak. Saya juga mencarinya, he he. Marzuki juga,” lanjutku sambil melemparkan pandangan ke arah Marzuki, kawan sesama penggembala. Dia sedang melepaskan tali kekang sapinya dari sebuah pathok (batang kayu yang ditancapkan kuat ke dalam tanah) di tengah padang. Rupanya jumlah rumput di sekitarnya sudah menyusut. Dia hendak memindahkan satu-satunya sapi miliknya itu ke bagian padang yang rumputnya masih lebat.
“Saking pengennya dia mendapatkan keindahan Surga, dan saking percayanya bahwa Surga adalah tempat terindah yang gak ada tandingannya, sampe-sampe dia menganggap bahwa apa saja yang bisa mengantarkannya ke Surga adalah keindahan. Nggak hanya itu Mbak, dia juga bilang bahwa seindah apapun suatu hal, jika itu malah menjauhkan manusia dari Surga, pada hakikatnya ia sama sekali tidak indah. Sama sekali bukan keindahan,” ceritaku. Sunyi. Dian Sastro tiba-tiba seperti membeku. Tapi aku cuek aja, malah melanjutkan cerita.
“Karena itulah, Mbak, menurut Marzuki, seindah apapun sebuah puncak gunung, jika itu malah membuat saya semakin jauh dari Surga, misalnya malah membuat saya meninggalkan sholat, maka ia hanyalah sebuah keindahan yang semu. Keindahan yang semu, karena keindahannya malah menjauhkan saya dari keindahan yang sebenarnya, yaitu Al Jannah, Surga.” Dian Sasto masih membeku. Aku pun melanjutkan cerita.
“Melukis gambar orang telanjang di atas kanvas, megal-megol di atas panggung yang ditonton banyak orang, merangkai kalimat-kalimat cabul dalam novel, berpakaian minim di depan umum, bagi sebagian orang mungkin merupakan keindahan. Tapi bagi Marzuki, itu adalah keindahan palsu. Kalaupun dikatakan seni, itu adalah seni yang palsu dan menipu.” Gadis itu tetap saja membeku. Aku pun melanjutkan lagi ceritaku.
“Seni itu bukan hanya berfungsi untuk menghibur orang, tetapi juga untuk mengajarkan sesuatu pada mereka, bahkan seni juga bisa digunakan untuk mengubah pikiran dan perilaku mereka. Lalu, di mana letak keindahan sebuah karya seni jika ia malah menyuguhkan hiburan yang tidak sehat, mengajarkan sesuatu yang buruk, dan mengubah seseorang dari baik menjadi buruk dan dari buruk menjadi jauh lebih buruk lagi? Itu yang dipertanyakan Marzuki, Mbak. Dia mendefinisikan kebaikan sebagai apa saja yang dipandang baik oleh hukum syara’ dan keburukan sebagai apa saja yang dipandang buruk oleh hukum syara’. Hukum syara’ itu adalah hukum islam, begitu katanya. Mbak Sastro punya komentar?” Pertanyaan terakhirku itu memaksanya untuk bicara.
“Menurut Mbak, dunia seni adalah dunia kekreativitasan. Kekreativitasan itu tidak akan jalan jika ada dalam batasan-batasan, karena karakter dasar dari sebuah kekreativitasan itu justru mestinya mendobrak apa saja yang membatasinya,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa makna di balik senyuman manis itu.
“Dengan kata lain, Mbak Sastro ingin mengatakan bahwa agama adalah penghambat kekreativitasan. Dan jika kita membatasi diri dengan aturan-aturan agama maka kita akan kesulitan untuk menjadi orang kreatif. Begitukah?” tanyaku memastikan. Dian Sastro mengangguk ragu. Maka aku pun melanjutkan dengan sebuah pertanyaan pamungkas.
“Bagi seorang pencari keindahan seperti Mbak Sastro, mana yang lebih penting: menjadi orang kreatif atau mendapatkan keindahan surga? Mbak Sastro tidak bisa memilih keduanya jika Mbak Sastro tetep kukuh berpendapat bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus menerjang batasan-batasan agama. Bukankah untuk mendapatkan keindahan surga, seseorang harus terikat dengan aturan-aturan agama dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk ketika membuat karya seni?”.
Dian Sastro terdiam. Dia menarik sebuah nafas panjang, kemudian melepaskannya pelan-pelan. Matanya menerawang jauh ke arah langit sebelah barat, yang dihiasi gumpalan awan-awan kuning keemasan. Sementara mentari sebentar lagi akan sampai di ujung cakrawala. Merah saga. Beberapa saat dia seakan tenggelam dalam kesendiriannya sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap tepat di bola mataku. Kali ini aku menunduk, menekuri daun-daun kering yang berserakan di atas tanah, menungggunya bicara, entah tentang apa.
“Dhe’, Almarhum Buya Hamka pernah bertanya: "Mengapa manusia bersikap bodoh? Tidakkah engkau tatap langit yang biru dengan awan yang berarak seputih kapas? Atau engkau turuni lembah sehingga akan kau dapatkan air yang bening. Atau engkau bangun di malam hari, kau saksikan bintang gemintang bertaburan di langit biru dan rembulan yang tidak pernah bosan orang menatapnya. Atau engkau dengarkan suara jangkrik dan katak saling bersahutan. Sekiranya seseorang amat gemar memandang keindahan, amat senang mendengar keindahan, niscaya hatinya akan terbebas dari perbuatan keji. Karena sesungguhnya keji itu buruk, sedangkan yang buruk itu tidak akan pernah bersatu dengan keindahan"”. Gadis itu berhenti sebentar, seakan memberiku kesempatan untuk menerjemahkan setiap rangkaian kata-kata Buya Hamka yang sudah lama dihafalnya di luar kepala tapi mungkin baru saja dipahaminya itu.
“Dhe’, pemikiran-pemikiran Marzuki tentang hakekat keindahan layak untuk dipertimbangkan. Kapan-kapan Mbak ingin diskusi langsung dengannya. Kalau perlu, Mbak akan ajak juga Jajang C Noer, Rieke Diah Pitaloka, Olga Lidya, dan artis-artis lain yang selama ini sepemikiran dengan Mbak. Kita buat seminar di sini, di padang ini. Seminar Gembala Sapi. Wah, pasti asyik banget! Cuman, ada hal lain yang ingin Mbak tanyakan pada Dhe’ Nadhif.”
“Tentang apa, Mbak?” tanyaku penasaran.
“Jadi, sapi apa sih yang selalu berjalan ke utara, tidak pernah ke arah yang lain?” Oalah..
“Sapi yang selalu berjalan ke arah utara dan tidak pernah ke arah yang lain adalah sapi yang berjalan dari arah selatan,” jawabku sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia manggut-manggut setelah beberapa saat mengerutkan kening.
“Sekarang, sapi apa yang suka makan lalapan lele?” balasnya memberi teka-teki.
“Ah, itu sih mudah. Pasti Sapi’i kan? Tetangganya Marzuki?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk kecewa.
“Hayo, sekarang lele apa yang bisa terbang?” giliranku memberi tebakan.
“Mana ada?!” protesnya.
“Ada. Lelelawar!” jawabku kenceng-kenceng. Merasa dicurangi, dia melepas sandal jepit sebelah kanannya dan melemparkannya keras-keras ke punggungku. Boukk! Auw!
“Itu kele, bukan lele!!” teriaknya gemes sambil memelototiku yang meringis kesakitan.
Warna emas di langit barat mulai memudar. Mentari semakin mendekati ujung cakrawala. Semakin merah saga. Saatnya mimpi diakhiri, sebelum Dian Sastro melepas sandalnya yang sebelah kiri.
Kuncup Indah, Juli 2006