Ahmad Nadhif

"All truth passes through three stages. First, it is ridiculed, second it is violently opposed, and third, it is accepted as self-evident." (Arthur Schopenhauer, Philosopher, 1788-1860)

Sunday, October 01, 2006

halaqoh muslim moderat

Tadi malam, Televisi Republik Indonesia menggelar sebuah program diskusi menarik. Namanya: HALAQOH RAMADHAN MUSLIM MODERAT. Tema yang dibahas adalah mengenai merajalelanya korupsi di Indonesia. Pembicara: Masdar dan Imdad (saya tidak perlu memberi tahu kan kalau dua orang ini adalah bolone JIL?). Diskusi ini menarik karena dari dulu saya memang ingin mengetahui solusi yang ditawarkan kelompok yang menyebut diri mereka “muslim moderat”ini terhadap permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapi bangsa.

Tapi sebelum itu, saya ingin mencermati nama program ini: HALAQOH RAMADHAN MUSLIM MODERAT. Kata “muslim moderat” sepertinya dipilih untuk semakin menegaskan bahwa kaum muslim itu ada dua macam: moderat dan radikal. Di akhir program, sang moderator mensifati muslim moderat sebagai muslim yang anti kekerasan. Tapi, menurut saya, adalah salah jika dianggap bahwa yang membedakan kelompok moderat dan kelompok radikal adalah penggunaan kekerasan dalam aktivitas “perjuangan” mereka. Sebab, HTI, Hidayatullah, dan sekian banyak kelompok-kelompok Islam lain yang tidak menggunakan kekerasan pun dicap sebagai kelompok radikal. Sebaliknya, Garda Bangsa, Banser, Pasukan Berani Mati, dan kelompok-kelompok sejenis yang tidak jarang menggunakan kekerasan pun dimasukkan ke dalam kelompok moderat. Kriteria yang membedakan kelompok radikal dan kelompok moderat itu adalah sikap mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam sebagai aturan formal kehidupan berbangsa dan bernegara dan juga sikap mereka terhadap ide-ide Barat. Singkatnya, muslim moderat menolak syariat sebagai sistem legal formal kenegaraan (kalau dalam tataran kehidupan pribbadi sih monggo-monggo saja), sementara muslim radikal keukeuh menuntut pemberlakuannya. Di samping itu, muslim moderat bersikap “bersahabat” terhadap Barat dan ide-idenya, sementara muslim radikal bersikap “bermusuhan”. Pemetaan dan pelabelan model begini sebenarnya berasal dari Barat. Dan sebagaimana biasa, orang-orang semacam Masdar dan Imdad ini selalu taqlid kepada mereka. Saya sebenarnya enggan mengikuti pemetaan seperti ini, terutama mengenai label yang digunakan: moderat-radikal. Jika memang substansi yang membedakan adalah seperti yang disebutkan di atas, saya lebih suka memberi label yang lain: “muslim rouso” (ingat seorang bintang iklan bernama Mbah Marijan kan?) untuk muslim radikal dan dan “muslim letoy” untuk muslim moderat. Namun, untuk sementara, saya akan ngalah dulu dan mengikuti istilah yang mereka gunakan. Ingat: untuk sementara!

Dalam diskusi tersebut, Masdar mempertanyakan, mengapa para pejabat negeri ini, yang sebagian besarnya adalah muslim, masih banyak yang tega hidup berkorupsi. Saya benar-benar tergelitik untuk menghubungkan pertanyaan ini dengan pengelompokan kaum muslimin seperti di atas. Ya, kalau saja Masdar ada di depan saya, saya akan berkata kenceng-kenceng, “Muslim-muslim yang koruptor itu adalah muslim moderat. Golongan anda!”

Saya tidak sedang guyon. Lihatlah sendiri, mana ada para koruptor busuk itu yang selama ini meneriakkan syariat Islam dan berusaha menggusur sistem Barat dari negeri ini? Semuanya adalah muslim letoy, yang terhadap Barat dan ide-ide kapitalis-sekuler-nya tidak pernah bersikap “bermusuhan”.

Ini sebenarnya sesuai dengan pernyataan Masdar sendiri yang mengatakan bahwa korupsi merajalela karena banyak pejabat yang hanya menganggap penting kesalehan ritual, bukan kesalehan sosial. Lha, itu kan ciri-ciri orang moderat. Bukankah mereka yang selalu mengatakan bahwa syariat Islam memang cocok untuk kehidupan pribadi, tetapi jangan digunakan dalam tataran publik? Wilayah ritual adalah wilayah pribadi dan wilayah sosial adalah wilayah publik. Walhasil, kalau Masdar menginginkan orang-orang muslim tidak hanya saleh secara ritual tetapi juga saleh secara sosial, maka mestinya dia mendudukung penegakan syariat Islam dalam wilayah publik. Bukankah kesalehan adalah kesesuaian perbuatan seseorang dengan perintah dan larangan Allah? Bukankah perintah dan larangan Allah itulah yang dinamakan Syariat Islam?!

Ini semakin nyambung dengan pernyataan tegas Imdad dalam diskusi tersebut. Dia setidaknya dua kali menyatakan bahwa, menurutnya, tindak korupsi secara hukum fiqh dikenai sanksi sebagaimana tindak ihtirob (Imdad menjelaskannya sebagai tindakan yang merugikan banyak orang), yaitu dibunuh dengan cara disalib. Pertanyaannya, bersediakah Imdad, Masdar, dan rekan-rekannya menerima pemberlakuan hukuman salib tersebut di negeri ini demi mewujudkan kesalehan sosial para pejabat seperti yang dicita-citakan Masdar? Kalau bersedia, mestinya nama program diskusinya diganti menjadi: HALAQOH RAMADHAN MUSLIM RADIKAL atau HALAQOH RAMADHAN MUSLIM ROUSO. Wallahu a’lam.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home