Ahmad Nadhif

"All truth passes through three stages. First, it is ridiculed, second it is violently opposed, and third, it is accepted as self-evident." (Arthur Schopenhauer, Philosopher, 1788-1860)

Tuesday, September 26, 2006

cerita pagi

Hening. Suatu pagi di sebuah beranda, dua buah kursi-plastik putih dipisahkan sebuah meja kayu tanpa taplak yang sedikit kusam. Di atas meja itu terdapat sebuah piring kaca transparan berisi 4 potong onde-onde. Piring itu diapit 2 gelas besar berlogo sebuah merek sabun colek yang berisi teh panas yang asapnya masih mengepul. Semua masih utuh. Belum ada yang tergoda untuk mencicipi. Dua anak manusia berusia 25-an tahun yang duduk di masing-masing kursi sudah sekitar 5 menit tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Mata sang gadis terlihat sembab; sementara sang pemuda tampak beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu baru saja bercerita tentang masalah yang tengah merundungnya: tesisnya-nya belum juga kelar karena dia tidak bisa memenuhi tuntutan dari sang dosen pembimbing untuk membuat tesisnya begini dan begitu. Dia telah berdoa agar Tuhan menolongnya. Tapi ia merasa Tuhan tidak mau mendengar permintaannya. Maka dia pun “balas dendam” dengan caranya sendiri: berhenti sholat!

Setelah sekian lama diam, sang pemuda pun menceritakan sebuah kisah. Kisah tentang kupu-kupu. Begini ia memulai ceritanya,

“Suatu hari ada seorang pria menemukan seekor calon kupu-kupu yang terkurung dalam sebuah kepompong. Di dinding kepompong itu terdapat sebuah lubang kecil. Dalam beberapa jam, pria itu duduk mengamati sang calon kupu-kupu yang berjuang keras untuk bisa keluar. Sayang, usaha binatang kecil itu tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memperlebar lubang kepompong itu.

Kupu-kupu tersebut pun keluar dengan mudahnya. Namun, tubuhnya gembung. Sayap-sayapnya pun mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, seiring berjalannya waktu, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga kuat untuk mengangkat tubuhnya. Namun semuanya tak pernah terjadi. Kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak dengan tubuh gembung dan sayap-sayap yang mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Selamanya.

Yang tidak dimengerti oleh pria tersebut adalah bahwa adanya dinding kepompong yang sulit ditembus dan perjuangan keras yang harus dilakukan kupu-kupu untuk keluar melewati lubang kecil itu adalah cara Tuhan untuk memaksa cairan tubuh kupu-kupu itu mengalir ke dalam sayap-sayapnya sedemikian rupa sehingga dia akan siap terbang begitu dia terbebas dari penjara kepompong tersebut,” begitu sang pemuda menutup kisahnya.

Setelah menceritakan kisah tentang kupu-kupu yang didapatkannya dari internet tersebut, sang pemuda kemudian menceritakan kisah yang lain: sebuah sketsa yang pernah dilakoninya sendiri dalam lembar panjang hidupnya.

Sekian tahun yang lalu ketika sang pemuda itu masih duduk di bangku SMP, dia pernah jatuh cinta terhadap seorang gadis teman kelasnya sendiri. Di matanya, gadis itu adalah wanita yang luar biasa. Bayangin aja, dia itu nggak hanya pinter, enak diajak ngobrol, punya selera humor yang tinggi, gampang dimintai contekan, tapi juga cantik. Maka usaha pendekatan pun dilakukan sang pemuda. Bahkan hampir setiap habis sholat, dia berdoa kepada Tuhan agar menjadikan gadis itu sebagai isterinya kelak. “Ya Allah, andaipun dia bukan jodohku, maka jodohkanlah. Engkau kan Maha Kuasa.” Begitu kira-kira penutup doanya.

Tapi Tuhan seakan tidak mendengar doanya. Setiap kali sang pemuda melakukan pendekatan, selalu saja sang gadis tampak menjauh. Malah yang lebih menyakitkan, gadis itu justru berpacaran dengan pemuda lain. Pedih! Musnah sudah harapan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan doaku? Padahal aku sudah rajin beribadah kepadaNya? Sang pemuda bertanya-tanya. Tapi tak kunjung ada jawaban.

Baru setelah sekitar 12 tahun kemudian, pemuda itu mengerti. Sang gadis pujaan hati itu ternyata bukan calon isteri yang baik bagi dirinya. Bagaimana tidak, jangankan memakai jilbab, gadis itu kini menjadi penyanyi dari kafe yang satu ke kafe yang lain di samping bekerja sambilan sebagai gadis panggilan, yang bisa “dipakai” siapa saja yang punya uang. Menjijikkan!

Demikian kisah sang pemuda. Dia pun kemudian berkata kepada gadis nekat yang memutuskan berhenti sholat itu,
“Begitulah, Allah mengetahui apa-apa yang tidak kita ketahui. Dia memberi kita kesulitan, bukan tanpa tujuan. Dan tujuan itu adalah demi kebaikan kita sendiri, sebagaimana yang terjadi pada kupu-kupu. Dia tidak mengabulkan doa kita, juga bukan tanpa alasan. Dan alasan itupun demi kebaikan kita sendiri, sebagaimana yang terjadi pada diri saya. Tapi dasar tak tahu diri! Kadang kita merasa lebih mengetahui apa yang terbaik buat kita daripada Tuhan, sehingga dalam doa pun kita mendikteNya. Dan ketika doa kita tidak dikabulkanNya, maka kita pun balas dendam kepadaNya. Betapa kurang ajarnya kita! Hanya karena kasih sayangNya, saat ini kita masih diberiNya kesempatan untuk memohon ampun.”

Setelah ngomong begitu, sang pemuda pun beranjak pergi meninggalkan sang gadis yang kini beku tertegun. Ia pulang begitu saja. Tapi sebelum itu, ditenggaknya dulu teh yang sudah mulai dingin di atas meja, sampai habis tak tersisa. Dan keempat onde-onde yang sedari tadi bengong itu pun dimasukkannya ke dalam plastik kresek yang ternyata sudah dipersiapkannya dari rumah. “Lumayan,” gumamnya sambil ngeloyor pergi.