Ahmad Nadhif

"All truth passes through three stages. First, it is ridiculed, second it is violently opposed, and third, it is accepted as self-evident." (Arthur Schopenhauer, Philosopher, 1788-1860)

Wednesday, September 27, 2006

CONDY TIDAK SEDANG MEMUJI


Kemarin lusa, wakil Presiden Indonesia Yusuf Kalla bertemu dengan menteri luar negeri AS Codoleeza Rice. Dalam pertemuan itu, Condy (sapaan akrab menteri yang tampaknya IQ-nya jauh lebih tinggi daripada IQ presidennya ini) “memuji” bangsa Indonesia sebagai bangsa yang, bersahabat, moderat, dan toleran. Menurutku sih, itu bukan pujian, melainkan perintah.

Dalam kehidupan sehari-hari, betapa sering kita memerintah seseorang dengan menggunakan kalimat yang bukan kalimat perintah. Misalnya, ketika telepon berdering dan kemudian suara di seberang sana bilang, “bisa bicara dengan dewo?” Kalimat itu sama sekali bukan sekedar pertanyaan yang akan selesai dengan jawaban “iya, bisa”. Kalimat itu adalah cara lain untuk mengatakan, “panggilin dewo dong”. Contoh lain, jika di sebuah larut malam ibu kita bilang, “ngger, jendelanya belum ditutup tuh”, tentu itu juga bukan sekedar pemberitahuan tentang kondisi jendela, melainkan perintah untuk menutupnya. Di sinilah, konteks sangat dibutuhkan untuk bisa memahami isi pembicaraan yang sebenarnya.

Nah, jika kita perhatikan konteks pembicaraan Condy dengan Kalla, akan jelaslah bahwa yang dimaksudkan Condy dengan pernyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersahabat, moderat, dan toleran itu bukanlah sekedar pujian yang akan selesai hanya dengan ucapan “thank you”-nya Kalla.

Seperti yang kita tahu, dari dulu, negara gembrot Amerika Serikat, juga sekutu-sekutunya, telah melakukan pemetaan terhadap kaum muslimin akan sikap mereka terhadap Barat. Dalam hal ini, setidaknya mereka mendapati ada dua jenis kaum muslimin: muslim radikal dan muslim moderat. Muslim radikal mereka sifati sebagai muslim yang tidak bersahabat terhadap Barat dan tidak mau bertoleransi (baca: berkompromi) dengan nilai-nilai Barat. Ciri mereka jelas: ingin menegakkan syariah Islam dan menggusur ide-ide dan sistem Barat. Sementara muslim moderat dalam pandangan mereka adalah muslim yang bersikap bersahabat terhadap Barat, mau menerima ide-ide Barat, dan bahkan memperjuangkannya. Ciri mereka juga jelas: emoh syariat Islam dan gandrung terhadap nilai-nilai Barat. Tentu saja yang diinginkan AS adalah muslim yang moderat ini. Bahkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa AS membiayai golongan ini untuk “memerangi” muslim radikal.

Pertanyaannya, termasuk golongan yang manakah bangsa Indonesia? Kalau sikap Pemerintah dijadikan sebagai ukuran penilaiannya, tentu bangsa Indonesia dengan mudah terkategori sebagai bangsa yang moderat terhadap Barat. Namun meskipun begitu, akhir-akhir ini kita bisa saksikan ada beberapa sikap Pemerintah yang menabrak kepentingan Barat. Sebagi contoh, beberapa minggu yang lalu, di Havana, bersama dengan sekian negara-negara lain, Pemerintah Indonesia menyatakan dukungannya terhadap program nuklir Iran. Padahal, Amerika mati-matian menentang program tersebut. Apakah dengan fakta ini, kita percaya bahwa Condy tulus ketika mengatakan bahwa Indonesia adalah sahabat yang menyenangkan? Ini belum bicara tentang maraknya perda-perda syariah di daerah. Ini juga belum bicara tentang dibebaskannya Ust Abu Bakar Ba’asyir, tokoh radikal yang dicap Barat sebagai teroris Asia Tenggara, dari tahanan. Ini juga belum bicara tentang tetap dilakukannya eksekusi terhadap Tibo cs, meski Pemerintah ditekan Paus Benedictus untuk membatalkannya. Ini juga belum bicara tentang sikap Pemerintah yang ngotot untuk mengirim pasukan TNI ke Libanon meski ditentang Israel dan juga pernyataan tegas Pemerintah bahwa TNI akan menolak jika diperintahkan untuk melucuti senjata Hizbullah.

Itu, sekali lagi, jika sikap Pemerintah dijadikan sebagai acuan penilaian atas sikap bangsa Indonesia secara keseluruhan terhadap Barat. Lha, bagaimanakah jika acuan itu adalah sikap masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Agak susah menilainya. Memang beberapa waktu yang lalu LSI menurunkan laporan hasil surveynya bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menolak penerapan syariat Islam. Tetapi, sejauh mana validitas hasil survey tersebut mengingat komandannya adalah orang JIL, kelompok moderat yang dibiayai AS?! Kalau pun toh hasil survey itu benar, ada hal yang tidak terjawab padahal penting. Yaitu, apakah ada kecenderungan penurunan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariat Islam dari tahun ke tahun, ataukah justru peningkatan? Kalau jawabannya adalah yang kedua, meskipun secara umum masyarakat Indonesia saat ini kebanyakan masih menolak syariah, itu adalah hal yang sangat menyesakkan dada bagi Barat.

Jika kita perhatikan kondisi di lapangan, ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa muslim Indonesia mulai sulit untuk dikatakan sebagi moderat. Tuntutan penerapan syariah saat ini tengah menggejala di mana-mana. Bukankah perda-perda syariah itu adalah perwujudan dari keinginan masyarakat, meski mungkin tidak semuanya? Bukankah hampir satu orang turun jalan, di Jakarta saja, menuntut segera disahkannya RUU APP? Bukankah ketika Rasulullah dikarikaturkan, demonstrasi besar-besaran pecah dimana-mana? Bukankah itu pula yang terjadi ketika Amerika menginvasi Afghanistan dan Irak, dan ketika Israel menyerang palestina dan Libanon?

Kebencian terhadap Amerika juga semakin kental. Bahkan di sebuah masjid milik warga NU tidak jauh dari kontrakan saya, setiap kali qunut subuh sekarang selalu membaca, “allahumma innaa na’uudzu bika min jahdil balaa’ wa dzarqi syaqaa’ wa suu’il qadha’ wa shamadatil a’daa’. A’daa’inaa amriika wa israail wa syurakaa’ihim. Allahumma innaa naj’aluka fii nukhuurihim wa na’uudzu bika min suruurihim…” Kalau warga NU saja ada yang bersikap seperti ini, bagaimana dengan organisasi-organisasi seperti HT, FPI, PKS, dan lain sebainya yang jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit?

Karena itu, pernyataan Condy di atas hanya bisa kita artikan: “Wahai Kalla dan para pejabat Pemerintah Indonesia yang lain, jaga bangsamu agar tetap moderat, tetap bersahabat dengan Barat, tetep mau menerima nilai-nilai Barat, dan jangan sampai kaum radikal mempengaruhi bangsamu!” Bagaimana seharusnya sikap Pemerintah Indonesia dalam merespon perintah Condy, yang mewakili negara gembrot AS ini? Ya tergantung. Tergantung apakah Pemerintah memandang bangsa Indonesia ini sebagai bangsa jongos atau tidak! Wallahu a’lam.